Bendungan Lau Simeme di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang.(Foto: Ist/Aktual Online)
AKTUALONLINE.co.id – Deli Serdang || Perkara sebagian masyarakat telah menerima ganti rugi uang, tidak menutup sejarah bahwa Bendungan Lau Simeme yang berada di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang dibangun di atas tanah rakyat yang dirampas pemerintah secara paksa.
Tujuan pembangunan Bendungan Lau Simeme yang awalnya direncanakan untuk menjaga stabilitas aliran air agar Kota Medan dan Deli Serdang tidak mengalami banjir, seperti disampaikan oleh Basuki Hadimuljono tahun 2022 saat menjabat sebagai Menteri PU pada akhirnya hanya omong kosong.
“Kehadiran bendungan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai infrastruktur pengendali banjir di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang dengan mereduksi derasnya aliran air hulu Sungai Percut dan Sungai Deli saat musim hujan sebesar 68,17 m3/detik,” terangnya sebagaimana dikutip Aktual Online melalui laman www.sda.pu.go.id.
Kota Medan dan Deli Serdang yang dilanda hujan sejak 11 Oktober 2025 malam tetap mengalami banjir di beberapa titik, khususnya pemukiman warga yang berada dekat aliran sungai.
Proyek dengan Kepala Satker bernama Maruli Simatupang ini tidak nampak ada manfaatnya sama sekali. Apalagi, titik banjir jauh di bawah Bendungan Lau Simeme yang jelas akan menunjukkan fungsinya sebagai pengendali tumpahan air ketika Medan dan Deli Serdang mulai tenggelam.
Pakar Tata Kota Jaya Arjuna dalam wawancara Aktual Online 13 Oktober 2025 menyebut bahwa fungsi pengendali banjir dari Bendungan Lau Simeme hanyalah ulok (red. bualan) belaka.
Kritik pedas ini pun tepat konsisten diutarakannya sejak rencana pembangunan bendungan senilai Rp1,76 triliun tersebut dibuat.
”Dari awal rencana sudah kubilang ulok itu, berapa uang rakyat itu. Dari awal pembangunan, sudah kubilang ulok. Lau Simeme itu tidak mungkin menangani Banjir Medan,” tegas Jaya Arjuna.
Jaya Arjuna menyatakan bahwa banjir yang terjadi di Medan maupun Deli Serdang dikarenakan proyek Bendungan Lau Simeme salah kontruksi.
Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumut dinilai lebih berorientasi pada uang dan proyek dibanding dengan memberitahu kajian penting bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) di Medan atau Deli Serdang yang tidak sealiran dengan Bendungan Lau Simeme.
Mirisnya lagi, tidak satupun perguruan tinggi di Sumatera Utara yang berani mengungkap kesalahan proyek ini, sehingga uang triliunan rakyat habis sia-sia.
Ntah kualat atau memang pengerjaannya tidak beres. Yang jelas lokasi Bendungan Lau Simeme ini berada di atas tanah masyarakat diklaim mendadak sebagai lokasi hutan produksi oleh pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 579/Menhut-II/2014 tentang penetapan kawasan hutan produksi.
Lewat dokumen yang didapatkan Aktual Online, tepatnya tahun 1924 Belanda pernah menerbitkan sebuah peta bernama Tabaksondernemingen Op De Oostkust yang dalam bahasa Indonesia berarti perusahaan Tembakau di pantai Timur Sumatera. Peta yang diterbitkan oleh percetakan J.H. De Bussy di Amsterdam.
Belanda membagi wilayah pantai timur Sumatera menjadi enam wilayah utama, yakni Langkat, Deli, Serdang, Bedagai, Padang dan Batoe Bahara (sekarang disebut Batubara). Kawasan yang dinyatakan oleh pemerintah sebagai hutan produksi masuk dalam wilayah Deli, tempat dimana Belanda mendirikan anak perusahaan Tembakaunya yang diberi nama Senembah Maatsschappij.
Kehadiran dari perusahaan tersebut menandakan bahwa tanah yang dipakai Belanda merupakan tanah konsesi (hak pinjam pakai) dari Kesultanan Deli dalam kurun waktu yang ditentukan. Selama menjalankan bisnis tembakau, Belanda juga hidup berdampingan dengan warga lokal yang diakui oleh warga terdampak sebagi generasi mereka sebelumnya.
Dalam sejarah kesultanan, wilayah yang diklaim sebagai hutan produksi dan dibangun bendungan Lau Simeme merupakan wilayah Kerajaan Karo yakni Urung Sinembah, Urung Tanjung Muda Hilir dan Urung Suka Piring. Kerajaan-kerajaan tersebutlah yang dahulunya memberi warna dalam sistem pemerintahan, perekonomian, hukum, sosial, budaya dan ikut dalam memperjuangan kemerdekaan di dataran tinggi serdang (sekarang bernama Deli Serdang) yang mayoritas dihuni oleh masyarakat Karo.
Hal ini dikuatkan oleh Halewijn E.A dalm bukunya berjudul Geographisce En Etnoggraphicsche Gegevens Betreffende Het Rijk Van Deli (Ootskust Van Sumatera) yang artinya geografis dan etnografis kerajaan Deli (pantai Timur Sumatera) tahun 1875 yang menyebut bahwa desa yang terdampak bendungan Lau Simeme merupakan bagian dari kerajaan Sinembah, seperti Kotta Dinding (Mardinding Julu), Sarilaba (Sari Laba Jahe), Roemah Gerat (Rumah Gerat), Koewala (Kuala Dekah), dan Penan (Penen).
Persoalan semakin memanas ketika diterbitkannya SK Bupati Deli Serdang No. 2205 tanggal 23 Desember 2016 tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan Lau Simeme yang berdampak pada desa-desa di kecamatan itu. Sejak saat itu, masyarakat rutin melakukan aksi protes karena pemerintah menolak memberikan pembayaran ganti rugi atas tanah milik mereka yang diambil, meskipun telah beralas hak sertifikat dan SK Camat.
Masyarakat geram, dan melakukan aksi unjuk rasa serta dialog berulang kali di jalan depan gedung DPR Kabupaten dan Provinsi, Sekretariat Kepresidenan dan Kementerian Kehutanan. Perjuangan mereka pun membuahkan hasil, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/2/2022 resmi dikeluarkan untuk membatalkan status kawasan hutan produksi dan menjadi dasar menuntut pemerintah membayarkan ganti rugi atas luas tanah miliknya yang telah diambil.
Namun, hingga saat ini uang ganti rugi juga belum diterima. Terpaksa, ribut-ribut dan blokade jalan yang dilakukan masyarakat belum lama ini menjadi kode desakan agar pemerintah segera menunaikan kewajibannya. Alhasil, Polda Sumut mengerahkan personilnya untuk berjaga-jaga di lokasi sebagai antisipasi hal serupa tidak terjadi, sebab bisa menghambat target selesai proyek strategis nasional itu. Lantas, kapan ganti rugi ini dibayarkan, semoga segera.II Prasetiyo
