Koordinator Gerakan Koalisi Masyarakat Sipil Medan Peduli Lapangan Merdeka Miduk Hutabarat. (Foto: Ist/Aktual Online)
AKTUALONLINE.co.id – Perspektif || Kepada Ar. Soehardi Hartono IAI, ketua majelis bertanya, kegiatan apa saja yang akan dibuat nantinya di lapangan Merdeka. Sang Arsitek menjawab, akan dibangun sarana parkir, ruang museum, pusat jajanan, ruang pelayanan Pemko, dan ruang audio visual.
Dimana diletakkan, tanya Hakim ketua. Semuanya di lantai bawah yang mulia, ’jawab Arsitek’. Apakah ada bangunan diatas lapangan. Tidak ada yang mulia. Jawab Arsitek. Jadinya nanti diatasnya kembali utuh sebagai lapangan ya. Ucap Hakim. Benar yang mulia. Jawab Arsitek.
Dari percakapan itu, menurut saya ada informasi yang tidak utuh disampaikan sang Arsitek. Karena melihat dari gambar rancangannya, disisi Timur akan ada bagian yang dibuat berlobang atau sponge-city. Fungsinya untuk memasukkan cahaya atau udara ke bagian bawah, tempat pusat jajanan dibuat.
Dan dikedua sisi Timur & Barat lapangan, akan ada koridor dihiasi elemen-elemen berupa cerobong asap kapal, dan tiang layar kapal. Menurut sang Arsitek, untuk mengingatkan masa kejayaan tembakau Deli dimasa lalu.
Dan di lokasi bangunan pendopo semula, akan dibangun kembali pendopo/panggung baru.
Arsitek menyebutnya panggung rakyat. Entah darimana lagi diksi itu dia lahirkan. Lapangan itulah panggungnya. Dengan adanya panggung buatan, akan muncul hirarki di sana!
Artinya, sesungguhnya bentuk asli lapangan Merdeka sudah dirobah. Hamparan lapangan pun sudah tidak utuh lagi, karena ada yang berlobang di sisi Timur.
Dan adanya panggung mengubah istilah pendopo tetapi sesungguhnya sama, kembali hadir dilokasi pendopo yang lama, dengan sentuhan desain modern. Harusnya diratakan. Jika ada even, baik formal maupun non formal, pasang panggung. Setelah selesai, bongkar. Pasang bongkar; jangan permanenkan. Karena itu lapangan.
Disitulah Esensi Lapangan
Dan pada bagian depan panggung rakyat itu, ada dibuat kolam kecil berisi air di sisi kiri dan kanannya.
Artinya, secara keseluruhan sentuhan ini akan membuat suasana disana tidak lagi klasik. Otensitasnya sudah dirubah. Dan tidak lagi seperti awalnya lapangan, tembus pandang, sejauh mata memandang.
Bahkan dari berbagai literasi asia tentang lapangan menyebutkan. Adalah locus, yang dapat menarik hati orang yang datang ke sana, sejenak reflektif. Ditambah dengan hadirnya artikulasi disana, akan mengingatkannya, atau mengajak seseorang untuk mengingat tentang apa yang pernah terjadi di masa silam.
Dalam hal lapangan Merdeka; tentang perjuangan dan tentang sang merah putih ketika dikibarkan yang menggetarkan saat mereka memandang. Serta pernak-pernik kisah lainnya di masa silam, itu.
Ruang itu yang kita perlu. Ditengah hiruk pikuk dan gegap gemerlapnya kota. Manusia perlu ruang publik lintas etnis dan agama, agar tetap ‘sadar’ kita terjaga.
Tentu akan sangat berbeda misalnya, seperti yang Koalisi usulkan dan naik di media cetak dan online , naiknya yang dilakukan Pemko adalah merehabilitasi, atau mengkonservasi lapangan Merdeka. Dengan merekonstruksi ulang monument Tamiang (1876), Fukuraido (1942) yang telah dirubuhkan di sana. Dan menyesuaikan Monumen Nasional Perjuangan Kemerdekaan (1986) yang pernah dibangun di sana, dengan keberadaan elemen lainnya!
Tentu jika hal itu yang dilakukan, akan lebih jelas tujuannya. Segaris dengan maksud jika untuk memanifestasikan nilai-nilai perjuangan yang ada pada rakyat Sumatera Timur untuk manifes di sana. Dalam artian, nilai-nilai yang intangible itu akan manifes dan melekat secara fisik ada di sana.
Kalaupun perihal cerita lengkap dan detailnya mau dibuat ya dijahit saja berbagai arsip dokumentasi yang ada, lalu dikemas dalam bentuk kanvas, relief, ataupun audio visual untuk dilihat dalam ruangan dan ruang audio visual di salah satu ruangan di sana. Itu nyambung dan bisa dibenarkan.
Termasuk jika membuat museum di bawah lapangan, adalah tindakan yang Koalisi sarankan. Dan perihal saran itu ada buktinya naik di media cetak, online atau elektronik. Karena tindakan seperti itulah, yang selaras dengan status Lapangan Merdeka cagar budaya.
Bukan menambah fungsi-fungsi baru di sana yang tidak berhubungan dengan nilai instrinsiknya Lapangan Merdeka. Jelembab itu namanya.
Tak perlu ada fungsi lain yang diwadahi secara permanen di sana, selain untuk maksud memperkuat fungsi pokoknya. Di atas ataupun di bawah lapangan. Kecuali fungsi pendukung utamanya, seperti kamar kecil, mushola atau gudang logistik. Itu wajib ada.
Sangat jelas, perihal bertambahnya fungsi-fungsi baru yang diwadahi walaupun di bawah lapangan Merdeka, seperti yang disampaikan Arsitek Soehardi di depan Majelis Hakim. Celaka, hal itu justru membuat kita gagal paham.
Dan perihal itu, Koalisi selalu siap dan berani untuk mempertanggungjawabkannya. || Miduk Hutabarat (*Penulis merupakan Koordinator Gerakan Koalisi Masyarakat Sipil Medan Peduli Lapangan Merdeka)
Editor: Prasetiyo