* Hampir 200Ha Tanaman Industri TPL di Sektor Aek Nauli Dibabat Pengklaim ‘Tanah Adat’
AKTUALONLINE.co.id PEMATANG SIANTAR |||
Maraknya kelompok masyarakat yang mengklaim Tanah Adat di beragam tempat, seperti di Nagori Sihaporas Kecamatan Sidamanik dan Huta Tonga Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun membuat Partuha Maujana Simalungun melalui Dewan Pimpinan Pusatnya, Dr Sarmedi Purba di Siantar Hotel Pematang Siantar, menegaskan Tidak Ada Tanah Adat di Simalungun, Jangan Bermimpilah, Ujar Dr. Sarmedi, Selasa (9/8/2022).
Dewan Pimpinan Pusat Partuha Maujana Simalungun Dr. Sarmedi Purba, Sp.OG angkat bicara mengenai desas-desus terkait Tanah Adat Simalungun yang diklaim oleh beberapa kelompok pendatang, dan bahkan mereka katanya berani menebangi pohon di Hutan Tanaman Industri Toba Pulp Lestari, yang diklaim mereka tanah wilayah adatnya.
Sejak kapan mereka memiliki tanah adat di Bumi Habonaron Do Bona ini, aparat Kepolisian harus bertindak lebih tegas, dan jika Polres Simalungun terkesan kurang tenaga menanganinya, Pihak Perusahaan dalam hal ini TPL, Silahkan melaporkan kasus itu lagi ke Polda Sumatera Utara dan saya Siap Jadi saksi jika diminta, perihal pernyataan Tidak Ada Tanah Adat di Simalungun, supaya mereka (pendatang,red) tidak sembarang klaim tanah di wilayah Simalungun ini, Ujar Dr Sarmedi.
Tak tanggung-tanggung memang di Aula Siantar Hotel, Siantar, Dr. Sarmedi Purba, Sp.OG mengatakan apabila ada yang mengklaim suatu wilayah menjadi tanah adat di wilayah Simalungun itu tidak benar, sebab di Simalungun “Tidak ada dikenal dengan Tanah Adat,” apalagi yang mengklaim adalah bukan marga Simalungun.
Dr. Sarmedi Purba, Sp.OG didampingi Rohdian purba S.Si,Msi, sebagai Bendahara, Djapaten purba BME sebagai Ketua membawahi Dep. Adat dan Pdt. Juandaha Purba Sth. Ketua membawahi Dep. Sejarah juga mengatakan bahwa sebelum pemerintahan kolonial Belanda, bumi Simalungun terbagi atas 7 Kerajaan. Sejak awal abad ke-20, nama ‘Simalungun’ digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Pemerintahan bawahan dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur, yakni yang disebut Simeloengoen en Karolanden.
Sistem Pemerintahan semasa kerajaan di Simalungun bersifat adalah feodal atau Sistem Social atau politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan atau raja dan seluruh kepemilikan tanah merupakan hak raja.
Kerajaan di Simalungun tidak mengenal masyarakat adat. Apabila ada Grant Raja kepada pihak lain maka Grant tersebut adalah hak untuk mengusahai bukan menguasai/memiliki (sebagai contoh perjanjian Raja Siantar dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tentang tanah milik kerajaan Siantar untuk dijadikan perkebunan.
Lanjut, Dr.Samedi Purba mengatakan Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, seluruh tanah yang tadinya milik raja-raja maupun partuanon di Simalungun secara langsung dijadikan menjadi tanah negara.
Orang pendatang di Simalungun disebut Parombou dan bekerja kepada orang Simalungun dan seiring waktu yang berjalan parombou ini juga sudah mulai ada kawin mawin kepada suku Simalungun sehingga mereka mendapatkan tanah warisan dari keluarga Simalungun untuk dia kelola dan itu tanah biasanya masih disewakan oleh kerajaan dengan istilah sekarang di bolah pinang (hasil dibagi 2 antara Si Pemberi tanah dan Si Pengerja).
Tetapi sesudah revolusi sosial/ setelah kita merdeka hukum yang berlaku siapa yang menguasai itu sebagai ladangnya dia bisa meminta itu kepada BPN supaya dibuat menjadi hak milik/ hak guna usaha/ hak guna bangunan. Bisakah orang lain memiliki tanah di Simalungun?

Jawabannya boleh setelah meminta kepada Pemerintah melalui Badan Pertanahan Negara supaya menjadi hak milik/ hak guna usaha/ hak bangunan, tetapi tidak boleh mengatakan itu tanah adat mereka apalagi sampai mencapai 32.000 hektar, mereka harus mengubur mimpinya itu!. Ujar Dr Sarmedi.
Pendatang di Simalungun tidak bisa membuat tanah adat mereka karena tidak ada dasar mereka membuat tanah Simalungun menjadi tanah adat mereka dan tidak mungkin orang pendatang menjadi Pemilik tanah adat Simalungun.

Jadi terkait penebasan ratusan Hektar pohon Eucalyptus yang ditanam,dirawat dan dijaga untuk kebutuhan Industri TPL, Hal ini sudah menjadi kriminal karena sudah ada pengerusakan, mereka menebas pohon tanaman industri setinggi 1-2 meter itu dengan alasan yang dibuat-buat karena di tanah adat mereka, itu salah dan mereka tidak memiliki tanah adat di daerah kami ini. Maka aparat penegak hukum harus lebih tegas lagi supaya para Investor tidak takut menanam sahamnya di Simalungun dan TPL jangan takut, bila perlu laporkan kembali ke Bapak Kapolri, Ujar Dr Sarmedi.
Jadi tidak ada tanah adat di tanah Simalungun selama beratus tahun berdirinya kerajaan di Simalungun, Demikian disampaikan Dr. Sarmedi Purba, Sp.OG selaku Ketua Umum DPP-PMS saat bertemu di Siantar Hotel, Pematang Siantar. ||| JSS
Editor : Zul